Esok hari, tanggal 15 Februari 2011 atau tanggal 12 Rabiul Awal 1432 H, kita kaum muslim seperti biasa merayakan mauled NAbi Muhammad SAW, suatu tradisi yang tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun.
Yang terpenting untuk kita pahami dan resapi adalah hikmah yang terkandung dalam setiap perayaan tersebut bukan untuk bagaimana mempersiapkan perayaan itu, ataupun sibuk menimbang dan memperdebatkan mengenai hukum perayaan mauled nabi sebagai suatu hal yang bid’ah.
Shalahuddin al-Ayyubi |
Dalam catatan historis, Maulid diperkirakan dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Muhammad. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Muhammad.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Dan ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan salahuddin itu menimbulkan efek yang luar biasa. Semangat umat Islam untuk berjihad bergelora kembali.
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa. Dibawah kepemimpinannya, perang salib diakhiri dengan sedikit korban. Tak seperti tentara salib yang menduduki Jerusalem dan membunuh semua muslim yang tersisa, pasukan Salahuddin mengawal pasukan lawan yang tersisa dan memastikan jiwa mereka selamat saat keluar Jerusalem. Begitulah akhlak Islam dalam perang yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kota Yerussalem |
Pada masa sekarang, perayaan maulid sangat bergantung pada konteksnya. Jika dahulu Salahuddin berhadapan dengan tentara salib, bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang? Diperlukan kejelian dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini.
Diantara persoalan besar yang dihadapi adalah kemiskinan dan kebodohan serta perpecahan di tubuh umat Islam yang terkadang berakhir dengan konflik berdarah. Seperti yang baru-baru ini terjadi dan hal itu sebenarnya sangat penting untuk di cari jalan keluarnya.
Selain itu, masalah lain yang dihadapi umat islam saat ini adalah terorisme, kekerasan yang mengatas namakan agama, tatanan dunia yang tidak adil, narkoba yang kian meraja lela, pornografi yang meracuni kaum muda, serta korupsi yang tiada kunjung berakhir.
Isu-isu inilah yang semestinya diangkat tokoh tokoh agama, oleh mubaligh, ustaz, da’I ke permukaan dan dibicarakan dalam peringatan Maulid Nabi. Syukur-syukur bila kita mampu menemukan jalan keluar yang tebaik.
Yang terbaik adalah jika dari sebuah peringatan maulid kita dapat melahirkan sebuah aksi nyata atau program kongkrit yang bisa langsung dirasakan masyarakat seperti pemberdayaan di bidang pendidikan dan ekonomi. Karena dua bidang ini mempunyai peran sentral dalam menangkis umat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Kebodohan dan kemiskinan merupakan satu faktor utama yang menjerambabkan umat dalam aksi kekerasan atau terorisme, perbuatan yang meluluhlantakan citra Islam sebagai agama damai di tengah percaturan politik global.
Jika maulid tidak lagi kontekstual, tidak mempunyai daya pecut menggugah semangat juang kita untuk melakukan langkah kongkret bagi kemjuan dan kemakmuran, hanya sebatas emosional saja, sangat dikhawatirkan umat islam akan terlempar pada romantisme sejarah. Perlahan namun pasti kita pun mengkultuskan Nabi Muhammad saw sebagai orang suci yang memiliki keistimewaan ketuhanan.
Padahal, Al Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah manusia biasa (QS Al-Kahfi 18:110). Penegasan Al Qur’an ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad itu adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Bedanya hanya Nabi Muhammad saw itu mendapat wahyu dari Allah sebagai utusan Allah kepada umat manusia.
Rasulullah berhasil melepaskan diri dari jerat hawa nafsu dan tampil sebagai insan al-kamil, manusia yang senantiasa hidup dalam tuntunan nilai-nilai Ilahi.
Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Muhammad sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad adalah pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan yang agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai luhur agar tercipta masyarakat madani yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Sekarang saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin umat yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang adil,ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif. Itulah rasulullah Muhammad SAW.
No comments:
Post a Comment