Mencoba sesuatu yang baru atau berbeda dari biasanya. Saya akan mengulas sedikit demi sedikit sejarah etnik Bugis, asli kesukuan saya. Membahas suatu sejarah di masa lampau memang sulit, minimnya informasi dan literature adalah salah satu kendala. Cerita dari nenek moyang dan orang tua dulu tidaklah salah untuk di dengarkan dan coba saya rangkum dalam tulisan-tulisan saya mengenai etnik Bugis.
Hal pertama adalah mengenai sejarah kemunculan suku Bugis, setidaknya tentang hal ini ada referensi yang cukup akurat. Yaitu buku "The Bugis" karangan Christian Pelras.
Berbeda dengan sebagian besar daerah dan kesukuan di beberapa Negara Asia Tenggara , suku Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-satunya pengaruh India yang jelas adalah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi, yang di perkirakan dibawa melalui jalur perdagangan. Minimnya pengaruh dari India, tidak seperti di Jawa dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komuniti awal ketika itu kuat menentang asimilasi budaya luar.
Perubahan Dari Zaman Logam
Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja.
Perubahan Dari Zaman Logam
Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja.
Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan yaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20.
Teknik Dan Perbedaan Ekonomi
Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan peralatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Syurga/Langit. Meskipun sebagaian meyakini bahwa 'Panre Baka' berasal dari Toraja.
Satu lagi inovasi yang diperkenalkan yaitu penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Hal ini mungkin diperkenalkan antara abad ke 13 dan abad ke 16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeda dengan Bahasa Melayu, malah diambil dari bahasa Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.
Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Teknik Penanaman padi sawah ini (plough) di dalam Bahasa Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala.
Teknik Dan Perbedaan Ekonomi
Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran 'Panre Bessi' atau 'Tukang Besi'. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan peralatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana 'Panre Baka' ('Tukang Besi Pertama') turun dari Syurga/Langit. Meskipun sebagaian meyakini bahwa 'Panre Baka' berasal dari Toraja.
Satu lagi inovasi yang diperkenalkan yaitu penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Hal ini mungkin diperkenalkan antara abad ke 13 dan abad ke 16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah 'anyarang' (Makassar: jarang), cukup berbeda dengan Bahasa Melayu, malah diambil dari bahasa Jawa ( 'jaran' ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.
Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Teknik Penanaman padi sawah ini (plough) di dalam Bahasa Bugis ialah 'rakalla' berasal dari perkataan 'langala' yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, 'langal', Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala.
Teknik 'rakalla' ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara, Dimana sebahagian lagi wilayah Asia Tenggara diambil dari China. Ini sekaligus membuktikan adanya hubungan antara Sulawesi Selatan dengan bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.
Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubungan erat dengan pertambahan penduduk di tangah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi mayoritas populasi Bugis ialah bertaman padi. Ketika bangsa terpelajar mulai merambah sumber-sumber daya alam dari hutan, laut. Pada saat inilah mulai terjadi system barter dimana populasi bugis dapat menjual hasil panen padi mereka dan menukarnya dengan barang-barang mewah dari luar seperti keramik China, Sutera India, cermin dll.
Perubahan Sosio-Politik
Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis yaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pemerintahan ataupun pertukaran dinasti.
Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubungan erat dengan pertambahan penduduk di tangah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi mayoritas populasi Bugis ialah bertaman padi. Ketika bangsa terpelajar mulai merambah sumber-sumber daya alam dari hutan, laut. Pada saat inilah mulai terjadi system barter dimana populasi bugis dapat menjual hasil panen padi mereka dan menukarnya dengan barang-barang mewah dari luar seperti keramik China, Sutera India, cermin dll.
Perubahan Sosio-Politik
Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis yaitu Luwu', Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pemerintahan ataupun pertukaran dinasti.
Kerajaan-kerajaan kecil bermunculan di tempat tempat yang ( 'wanua' ) dan diperintah oleh seorang ketua yang digelari 'matoa' atau 'arung'. Kerajaan ini (tidak disebut didalam La Galigo) antara lain Bone, Wajo dan Goa yang kemudian muncul sebagai kerajaan-kerajaan utama.
Meskipun sebagian kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam catatan sejarah, dan memunculkan polemic bahwa sebenarnya kerajaan-kerajaan tersebut memang tidak pernah ada.
Meskipun sebagian kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu' dan Tompoktikka 'hilang' di dalam catatan sejarah, dan memunculkan polemic bahwa sebenarnya kerajaan-kerajaan tersebut memang tidak pernah ada.
Perubahan Agama
Kesinambungan dari zaman logam berlanjut dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan adalah pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting di simpan di dalam tempat penyimpanan debu (berbentuks seperti labu) dan tempat pembakaran mayat disebut Patunuang.
Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja sampai saat ini masih menyimpan dan meletakkan mayat di gua-gua. Menurut sumber-sumber terdahulu, Mayat-mayat pemerintah pada masa awal di biarkan bersandar di tahtanya higga tinggal tulang belulang, dan mereka meyakini arwah mereka kembali ke surga. Sementara mayat bayi di tenggelamkan ke laut.
Kerajaan-Kerajaan Awal Bugis
Di akhir abad ke 15, Luwu', yang dianggap sebagai yang tertua dalam komunitas Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang pesisir pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bantaeng.
Di akhir abad ke 15, Luwu', yang dianggap sebagai yang tertua dalam komunitas Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang pesisir pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bantaeng.
Aksara Bugis |