Mataku terasa berat, jam segini apalagi dalam keadaan puasa teramat sulit melawan rasa kantuk yang menggoda, membujuk mata untuk sejenak terlelap, Tapi, ah ini di kantor? Coba ku alihkan pandanganku keluar jendela, dan pada akhirnya tertuju jauh ke sudut
sana kepada rimbun pohon kersen di depan pos security. Humm, bulan puasa.. Andai
saja ini bulan biasa pasti setiap sore ramai orang berlompatan meraih tangkaimu
sekedar ingin memetik buah yang ranum atau hampir ranum. Buah mungil, imut
pelepas dahaga, manismu terasa sampai ke hati, hehehee…
Ini tentang pohon kersen, dulu aku temukan kisah ini di
pc temanku, mengharukan dan setiap melihat pohon kersen dimanapun aku jadi suka
teringat kisah ini, pohon kersen yang sendiri menanti hujannya.
Alkisah, ada sebatang pohon kersen yang tumbuh di lereng
bukit gersang. Anggun, teduh, bersahaja. Dan sendirian.
Daunnya yang rimbun dan buahnya yang merah menggugah,
menggoda setiap orang yang lewat untuk melangkahkan kaki menghampirinya,
sekedar duduk melepas lelah atau malah tertidur karena betah. Pohon kersen
begitu pemurah. Disambutnya mereka dengan rengkuhan ranting dan senyum hangat
bunganya. Diperbolehkannya sang angin berlarian di helai-helai daunnya.
Diijinkannya burung-burung berdendang di pucuk tertingginya. Dijamunya mereka
yang datang layaknya teman.
Dari sekian banyak teman yang dimilikinya, ada satu yang
terasa istimewa. Yang mampu menggamit jiwanya hingga meronta dari raga. Dia
yang selalu dinantinya untuk singgah. Dia yang selalu diharapkannya untuk
tinggal lebih lama. Dialah sang hujan.
Ya, pohon kersen itu mendamba sang hujan dalam bisunya.
Memujanya untuk setiap butiran air yang menyapa dalam kerontang. Nuansa yang
hujan sajikan tiap kali dia datang membuat pohon kersen mabuk kepayang. Tak
bisa dijawabnya ketika burung parkit sahabatnya bertanya mengapa bisa. Pohon
kersen tak punya kosakata untuk menjabarkan cinta. Atau tak punya waktu karena
habis untuk tersipu?
Ah, seperti inikah yang awan sebut dengan cinta?
Awan bercerita rasanya seperti terbang di antara bintang.
Tapi pohon kersen tak pernah paham rasanya terbang. Baginya jatuh cinta terasa
seperti ditaburi ribuan kunang-kunang. Ah, bukankah sama saja.
Jatuh cinta berarti penuh cahaya.
Jatuh cinta berarti penuh cahaya.
Pohon kersen kadang tak mengerti, mengapa ada yang tak
menyukai hujannya. Pak tua yang selalu membuka bekal di bawah bayang-bayang
tengah harinya bahkan mengumpat jika hujan singgah ke bukit itu. Apa salah
hujan? Bukankah dia begitu menyenangkan? Bukankah dia begitu indah? Begitu
pikir pohon kersen yang sedang didera asmara.
Pohon kersen ingat, betapa hujan sangat perhatian. Di suatu masa, ketika pohon kersen untuk pertama kalinya merasakan lara, hujan tak jemu menemaninya. Hujan mengemas sebuah bingkisan paling manis yang pernah pohon kersen terima sepanjang dia tumbuh di sana. Usai tengah hari, ketika matahari masih meraja di angkasa, dibujuklah angin agar meniup mendung tepat di atas bukit itu. Dan tiba-tiba dengan sangat rupawan hujan tampil di sana dengan latar matahari siang yang tersenyum lewat sinarnya. Dibiaskannya senyum matahari itu menjadi sebaris warna. Merah, kuning, hijau, lalu entah apa. Pohon kersen menakjubi keajaiban di depannya. Warna-warni itu terlampau indah untuk diungkapkan dalam bahasa apapun juga. Dia hanya mampu menatap dan memuja.
Itulah pelangi pertamanya.
Pernah pohon kersen disengat cemburu. Pada gadis kemayu
yang suka sekali menari di bawah payung berwarna biru ketika hujan menderaskan
belaiannya. Pohon kersen tak suka jika gadis itu mulai bernyanyi. Hujan akan
sangat menikmati dan melupakan ceritanya tentang berbagai tempat di balik bukit
yang tak pernah pohon kersen dengar sebelumnya.
Atau pada mawar. Tak perlu bertanya mengapa bunga mawar
membuatnya iri.
Pernah suatu ketika ditanyainya sang hujan, "Mengapa kau tak ikut bermain bersama awan di
belukar mawar? Bukankah kalian semua suka cantiknya? Oh ya, dan dia wangi tentu
saja."
"Oh, aku tak suka mawar. Bagiku dia biasa-biasa
saja. Rasanya percuma dan tak berguna kalau cantik tapi bisa membuat luka.
Tahukah kau mengapa parkit tak pernah berpaling satu kalipun pada rona
merahnya? Karena menurutku hijau daunmu jauh lebih mempesona."
Ah, ingin sekali pohon kersen merengkuh hujan yang saat
itu begitu menggemaskan, menyimpannya di balik dedaunnya agar tak pergi walau
kemarau menghampiri.
Begitulah cinta pohon kersen pada hujan yang dikuburnya
begitu dalam. Tak mampu diambilnya kembali hati yang telah terdampar.
Awan pun mencandainya, "Jika seseorang menggali di
sekitarmu, dia pasti tak akan menemukan akar, melainkan gundukan perasaan
cintamu yang tak tersampaikan".
Pohon kersen hanya sanggup membuang pandang.
"Kenapa kau tak pernah bilang padanya?", tanya
si parkit sahabatnya.
"Aku tak punya cukup keberanian"
"Keberanian untuk menghadapinya?"
"Bukan. Keberanian untuk menghadapi diriku sendiri
seandainya nanti aku terluka"
Ini purnama kali ketiga pohon kersen tak jumpa dengan
hujannya. Bukan rindu lagi namanya. Ini derita. Sudah lama dia tidak merasa
demikian tersiksa, terakhir kali adalah saat dilihatnya pemuda yang tinggal di
kaki bukit pindah ke kota.
Hujan dan ketidakhadirannya meninggalkan dahaga. Setiap
petang dirapalkannya sebaris doa, meminta agar hujan kembali demi menghabisi
rindunya. Namun doa itu terasa hanya menggantung di udara.
Pohon kersen merana dalam kepungan hampa.....
Adopted from Maria-jola.blogspot.com (thanks mbak :) )
Adopted from Maria-jola.blogspot.com (thanks mbak :) )
Oh, pohon kersen.?? Penantianmu tak kan sia sia. Semua akan indah pada waktunya. Nice story mbak...
ReplyDeleteHi anonymous... thanks for visite:)
Deletepengen kembali ke masa lalu,
ReplyDeletepohon kersen yg penuh dengan kenangan manis
masa kecil penuh dengan tawa dan canda
tanpa harus kuatir akan masa depan.
Ahaa... finally see u here. G sibuk lagi mbak??? Pasti pohon kersen yang di pinggir sungai kan maksudmu, sebelum terjun ke sungai naik dulu ke pohon habis itu jumpalitan deh nyemplung ke air, eehhhmmmm masa kecilku...
Delete