Translate

August 15, 2008

Antara Psikopat dan Sosipat


Psikopat adalah suatu gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Dr. Hervey Cleckley, psikiater yang dianggap salah satu peneliti perintis tentang Psikopat, menulis dalam bukunya “The Mask of Sanity” (1947, dalam Hare, 1993), menggambarkan Psikopat sebagai pribadi yang “likeable, charming, intelligent, alert, impressive, confidence-inspiring, an a great success with the ledies”, tetapi sekaligus juga “irresponsible, self destructive, and the like”. Demikian pula Dr. Robert Hare, dalam bukunya “Without Conscience: The disturbing world of the Psychopaths among us“ (1993) masih bergelut dengan isyu yang sama, yaitu kepribadian psikopat yang nampaknya baik hati, tetapi sangat merugikan masyarakat.

Karena itu Dr. Cleckley dan lebih dari setengah abad kemudian juga Dr. Hare, mengajak masyarakat untuk mewaspadai kemungkinan adanya Psikopat di sekitar kita, bukan hanya yang bersifat kriminal atau seksual, melainkan juga yang non-kriminal dan non-seksual. Justru tipe yang nampaknya tidak berbahaya, tampil seperti orang biasa, bahkan dengan perilaku yang menarik itulah yang lebih sering merugikan masyarakat. Itulah pula yang kadang-kadang menimbulkan kontroversi tentang istilah. Kebanyakan pakar menamakan gejala ini “Psikopat” (karena yang menderita kelainan [patologik] adalah jiwa individualnya[Psyche]), sementara sebagian pakar lain lebih suka manamakannya “Sosiopat” (karena melanggar norma sosial, dan masyarakat [society]-lah yang akhirnya menjadi korban).

Namun perlu dicatat, bahwa istilah Psikopat, yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam DSM II 1968 resmi dinamakan Sosiopat (Ramsland, tanpa tahun) itu, justru tidak bisa ditemukan dalam DSM IV. Yang ada dalam manual baku yang digunakan oleh para psikitaer di seluruh Amerika Serikat (dan diacu juga oleh para psikolog klinis dan psikiater dan psikolog di Indonesia) itu adalah 10 jenis Kelainan Kepribadian (Personality Disorders) (American Psychiatric Association, 1994: 629). Hare sendiri menyamakannya dengan salah satu kelainan di antara yang 10 itu, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare, Hart & Harpur, 1991), tetapi di antara sembilan yang lain terdapat tipe-tipe yang juga disebut-sebut sebagai ciri Psikopat, yaitu Borderline, Histrionic, dan Narcistic Personality Disorders (Cunliffe, 2005; Helfgott, 2004; Bouchard, 2002). Jadi yang bagaimanakah yang sebenarnya?

Pertanyaan tentang definisi dan ruang lingkup pengertian Psikopat adalah salah satu pertanyaan penting yang perlu diklarifikasi. Pertanyaan-pertanyaan lain yang juga memerlukan klarifikasi adalalah etiologi, sindrom, dan terapi atau pencegahannya, di samping metode dan alat ukur yang bisa dan biasa digunakan untuk meneliti gejala ini. Semua pertanyaan itu dicoba untuk diklarifikasi dalam makalah ini, yaitu dengan cara menjajagi artikel-artikel dalam jurnal yang bisa diperoleh melalui fasilitas PsychINFO dalam website www.APA.org yang tersedia bagi anggota dan affiliate dari American Psychological Association. Tujuannya adalah agar diperoleh gambaran yang jelas tentang apa Psikopat itu, untuk menghilangkan kesimpang siuran dan untuk memungkinkan pemahaman, penelitian dan penanganan yang lebih baik terhadap gejala tersebut.

Berikut ini adalah rangkuman dari penelitian saya terhadap 19 jurnal yang terbit dalam kurun waktu 2002-2005 di negara-negara Amerika Serikat, Asutralia & New Zealand, Kanada dan Eropa dalam bidang-bidang ilmu Psikologi, Psikologi Forensik, Psikologi Kedokteran, Kesehatan Mental, Psikologi Neurologik, Kesehatan Masyarakat, Psikiatri, Kriminologi dan Hukum.

Definisi dan Ruang Lingkup.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, DSM IV tidak mencantumkan Psikopat dalam daftar penyakit/gangguan/kelainan jiwa di lingkungan psikiatri Amerika Serikat. Namun Hare sendiri dalam bukunya Without Conscience (1993) secara eksplisit mendefinsikan Psikopat sebagai berikut:Psychopath is a personality disorder defined by a distinctive cluster of behaviors and inferred personality traits, most of which society views as pejorative.Cluster of behaviors yang dimaksud dideskripsikan oleh beberapa literatur sebagai antisocial, borderline, histrionic dan narcisstic (Hare, Hart & Harpur,, 1991; Cunliffe, 2005; Helfgott, 2004; Bouchard, 2002), yang menurut DSM IV mempunyai pengertian sebagai berikut:

Antisocial Personality Disorder is a pattern of disregard for, and violation of, the rights of others? Borderline Personality Disorder is a pattern of instability in interpersonal relationships, self image, and affects, and marked impulsivity? Histrionic Personality Disorder is a pattern of excessive emotionally and attention seeking? Narcisstic Personality Disorder is a pattern of grandiosity, need for admiration, and lack of empathy (American Psychiatrist Association, 1994; 629)

Bahwa pengertian Psikopat sebagai gejala kelainan kepribadian eksis dalam jurnal-jurnal ilmiah, dan mempunyai pengertian luas yang mencakup ke empat ciri kelainan kepribadian di atas dapat kita temukan antara lain dalam deskripsi yang dikemukan oleh Wallace & Newman (2004) sebagai berikut:The most salient characteristic of the psychopath is the propensity to engage in maladaptive and inappropriate behavior of all sorts, including antisocial and criminal actions.

Selanjutnya Hare, yaitu menjelaskan bahwa ada dua unsur utama dalam pengertian Psikopat, yaitu faktor afektif/interpersonal dan faktor gaya hidup sosial yang menyimpang. Menurutnya sifat-sifat (traits) psikopat adalah: lack of remorse or empathy, shallow emotions, manipulativeness, lying, egocentricity, glibness, low frustration tolerance, episodic relationships, parasitic lifestyle, dan persistent violation of social norms (Hare, 1999). Berdasarkan konstruk Psikopat seperti itu, Hare kemudian mengembangkan alat ukur Psikopat yang dikenal dengan nama PCL-R (Psychopathy Checklist-Revised) pada tahun 1985 (akan dibahas dalam bagian tentang alat ukur).

Tetapi yang menarik adalah bahwa kebanyakan jurnal yang diteliti, justru mendefinsikan dan menggambarkan Psikopat dan ruang lingkupnya hanya sebatas yang menyangkut antiosial dan kekerasan (Pridmore, Chambers & McArthur, 2005), kriminal (Granlund, 2005), kekerasan seksual (Litman, 2004; Meloy, 2002; Quinn, Forsyth & Mullen-Quinn, 2004) dan narapidana atau tersangka (Endres, 2004; Guy & Edens, 2003; Pham dkk., 2003). Dengan demikian, pengertian dan ruang lingkup Psikopat dalam jurnal-jurnal tersebut di atas tidak jauh dari pengertian awam yang berlaku di masyarakat, atau dengan perkataan lain, penelitian-penelitian yang di laporkan dalam jurnal-jurnal lebih disesuaikan dengan persepsi masyarakat tentang Psikopat, bukan atas dasar hasil-hasil penelitian yang terdahulu.

Bahwa pengaruh awam besar terhadap dunia ilmu Psikopat, ternyata bukan hanya terbatas dalam pendefinisian dan pendeskripsian kelainan jiwa itu saja, melainkan juga dalam hal terapi dan pencegahannya, sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain dari makalah ini.
EtiologiSama seperti dalam hal definisi dan ruang lingkup, ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam jurnal-jurnal yang diteliti, tidak berbicara jelas tentang faktor-faktor penyebab kelainan kepribadian yang bernama Psikopat ini. PCL-R yang dikembangkan oleh Hare mungkin merupakan alat yang baik untuk mendiferensiasi antara orang-orang dengan gejala Psikopat dan yang tidak, namun alat itu tidak bisa menunjukkan faktor penyebab dari kelainan kepribadian itu.

Hare sendiri memeriksa seorang pasien pria, berusia 46 tahun bernama AI yang menunjukkan semua gejala Psikopat. Hasilnya adalah bahwa pada AI ditemukan kelainan di otak, yaitu bahwa AI tidak dapat memisahkan stimulus yang bersifat rasional dari yang emosional. Semua stimulus diolah sekaligus oleh belahan otak kiri (pusat rasio) dan otak kanannya (pusat emosi). Karena itu menurut Hare seorang Psikopat bukan sekedar berbohong atau hipokrit (munafik), tetapi ada sesuatu yang lebih serius di baliik itu, yaitu ada kelainan di otaknya (Hare, 1999).

Dugaan tentang adanya faktor biologis ini juga muncul dalam laporan Pridmore, Chambers & McArthur (2005). Peneliti-peneliti itu melaporkan adanya hubungan antara gejala Psikopat dengan kelainan sistem serotonin, kelainan struktural (“...decreased prefrontal grey matter, decreased posterior hippocampal volume and increased callosal white matter) dan kelainan fungsional (... dysfunction of particular frontal and temporal lobe) otak. Namun mereka mengakui bahwa diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk menkonfirmasi temuan-temuan itu.

Temuan lain yang berkaitan dengan faktor biologik disampaikan juga oleh Litman (2004) yang menyebutkan adanya kelainan neurologik pada sindrom Erotic violence, dan Raine et al. (2003) yang mengungkapkan adanya kelainan pada Corpus collosum, namun penelitian-penelitian ini dilakukan atas dasar jumlah kasus yang sangat terbatas, bahkan ada kalanya hanya atas dasar satu kasus saja (seperti halnya dengan penelitian Hare sendiri), sehingga masih membutuhkan penelitian lanjutan atau penelitian replikasi (ulang) untuk mengkonfrimasi hasilnya (Pridmore, Chambers & McArthur, 2005).

Penjelasan non-biologik dan non-medik dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh psikoanalis Bouchard (2002) yang meneliti sebuah film drama tentang Hendrik H?fgen seorang aktor Jerman yang hidup dalam era rezim Hitler dan bergabung dengan Nazi untuk memenuhi hasrat narsistiknya. Ia meninggalkan begitu saja dua pacarnya, yaitu Julietta yang berkulit hitam dan Barbara, untuk mencapai sukses sebagai seniman teaternya Jenderal Goering. Namun dibalik idealisme-idealisme bossnya yang dikembangkan dalam teater-teaternya (diberi nama sisi Hamlet dari kepribadiannya), H?fgen ternyata menemukan wadah untuk menyalurkan hasrat-hasrat narsistiknya yang patologis itu (dianalogikan dengan Mephisto ) . Mephisto, menurut Bouchard adalah defense mechanism yang primitif terhadap ketidak mampuan Super-ego Hamlet untuk bertahan terhadap hasrat-hasrat primitif dari Id-nya. Tetapi penjelasan psikoanalisis oleh Bouchard ini, sekali lagi hanya didasarkan pada satu kasus, dan itu pun kasus dalam film drama, bukan kasus yang sesungguhnya.

Laporan lain mengenai faktor penyebab Psikopat dikemukakan oleh Kirkman (2002). Menurut Kirkman, yang penting adalah mempelajari faktor-faktor penyebab dari Psikopat-psikopat yang di luar rumah sakit atau penjara, sebab mereka ada di tengah-tengah masyarakat dan bisa langsung merugikan masyarakat. Menurut penelitiannya, mereka yang berkepribadian Psikopat mempunyai latar belakang masa kecil yang tidak memberi peluang untuk perkembangan emosinya secara optimal. Anak-anak yang tidak dididik dan diasuh sedemikian rupa sehingga emosinya berkembang dengan baik, akan tumbuh menjadi orang-orang yang tidak bisa berempati dan tidak mempunyai kata hati (consceince). Dengan perkataan lain, mereka akan menjadi orang dengan kepribadian Psikopat.

Tetapi peneliti-peneliti lain lagi (Miller & Lynam, 2003) menyatakan bahwa kepribadian Psikopat bersumber kepada kelainan kepribadian itu sendiri, karena ia menemukan korelasi antara perilaku orang-orang dengan sindrom psikopat, dengan skor yang tinggi dalam test kepribadian yang disebut Revised NEO Personality Inventory (NEO-P-I-R, 1992). Atau ada pula yang menyatakan bahwa gejala Psikopat, khususnya yang menyangkut kekerasan seksual, disebabkan oleh sejumlah faktor tertentu, yaitu:(1) search polygini (2) callousness and a lack of empathy (3) a lack of attachment or bonding (4) sensation seeking as a product of chronic, cortical underasousal (5) grandiosity (6) entitlement (7) a predominance of part-object relations (8) a high frequency of predatory violence, dan (9) the leaving by consensual sex partners when the psychopaty is identified (Meloy, 2002)

Seperti sudah diuraikan di atas, sindrom yang paling sering disebutkan dalam jurnal-jurnal adalah sindrom kekerasan (violence) dan seks (Wallace & Newman, 2004; Litman, 2004; Oei, 2005; Grandlund, 2005; Bouchard, 2002; Meloy, 2002). Hal ini mencerminkan citra Psikopat sebagai sosok yang sangat berbahaya dianggap bisa mencelakakan atau membahayakan nyawa orang lain. Tetapi diluar itu, ada juga peneliti yang memperhatikan sifat-sifat Psikopat yang lain, seperti histrionic, narsistik dan antisosial (Cunliffe & Gacono, 2005; Helfgott, 2004), kurang perhatian dan kurang kemampuan eksekusi (Pham, Vanderstukken, Philippot & Vanderlinden, 2003), kurang afeksi, kurang hubungan interpersonal, kemampuan rendah dalam reaksi otomatis terhadap stress, dan kemampuan spatial (Raine et al. 2003). Selanjutnya Endress (2004) menyampaikan bahwa ada 3 indikator yang valid untuk menentukan sindrom Psikopat, yaitu dalam pola bicaranya, pola perilaku dalam hubungan iterpersonal-nya dan pola perbendaharaan bahasanya (linguistic properties), khususnya dalam penggunaan kata-kata vulgar (coarse languange).

Temuan lainnya adalah bahwa penyandang sindrom Psikopat (berdasarkan kriteria DSM IV) dari orang yang non-Psikopat adalah bahwa Psikopat bukannya tidak bisa memahami masalah dari perspektif korban, tetapi tidak bisa memahami dampak yang akan dialami korban sebagai akibat perilaku si Psikopat tersebut (Dolan & Fullam, 2004).
Tetapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa hampir semua artikel dalam jurnal-jurnal itu berbicara tentang Psikopat pada pria. Seakan-akan Psikopat adalah monopoli laki-laki. Hanya satu artikel, yaitu yang ditulis oleh Cunliffe & Gacono (2005) yang secara eksplisit melaporkan sindrom Psikopat pada wanita. Dengan menggunakan test PCL-R dan Rorschach, kedua peneliti itu menyatakan bahwa Psikopat perempuan berbeda dari Psikopat laki-laki dan penyandang ASPD (Anti Social Personality Disorder) yang non-Psikopat (menurut Cunliffe & Gacono ternyata ASPD tidak otomatis identik dengan Psikopat) adalah bahwa Psikopat perempuan menunjukkan lebih banyak “... disturbances in self perception, interpersonal relatedness, and reality testing”.

Metodologi dan alat ukur.Kesulitan metodologis dalam penelitian tentang Psikopat, terutama datang dari terbatasnya kasus yang tersedia. Karena itu beberapa penelitian hanya didasarkan pada satu kasus saja (Hare, 1993; Litman, 2004; Bauchard, 2002). Beberapa penelitian lain terbatas pada sampel tertentu yang bias, seperti Narapidana, walaupun jumlahnya relatif besar (N=63) (Endres, 2004). Penelitian dengan sampel besar hanya bisa dilakukan terhadap topik-topik yang lebih umum dan bisa menggunakan responden umum seperti studi komparatif (N orang dengan indikasi Psikopat berdasarkan DSM IV = 89, N kontrol = 20) (Dolan & Fullam, 2004), atau studi simulasi (N mahasiswa S1 = 174) (Guy & Edens, 2003).

Kesulitan lainnya adalah dalam mendefinsikan konstruk Psikopat itu sendiri. Karena sangat bervariasinya definisi, maka agak sulit untuk saling membandingkan antar hasil penelitian. Bias yang besar dari pandangan awam yang berpengaruh pada peneliti, juga menyebabkan penelitian terbatas pada segmen-segmen tertentu dari pelaku maupun korban Psikopat. Dengan demikian sulit untuk mengembangkan teori yang baik yang bisa menjelaskan gejala kelainan kejiwaan ini berdasarkan temuan-temuan empirik (metode induksi).

Yang sudah pernah dilakukan adalah arah metodoligis yang sebaliknya, yaitu berdasarkan teori tertentu, dikembangkan alat-alat ukur tertentu. Seperti dari teori tentang kriteria diagnostik dikembangkanlah alat ukur PCL-R (Hare, 1993; Cunliffe & Gacono, 2005; Helfgott, 2004; Brinkley, 2004; Endres, 2004). Alat ukur lain yang digunakan berdasarkan teori yang sudah eksis (metode deduksi) adalah Primitive Defense Guide (Helfgott, 2004), Rorschach (Cunliffe & Gacono, 2005), ToM (Theory of Mind) (Dolan & Fullam, 2004; Ritchell, et al. 2003), SCT (Sentence Completion Test) (Endres, 2004), dan NEO PIR (Miller & Lynam, 2003).

Terapi dan Pencegahan.Sebagai kelainan kepribadian yang belum bisa dipastikan penyebabnya, Psikopat belum bisa dipastikan bisa disembuhkan atau tidak. Hare sendiri mengamati bahwa perawatan terhadap Psikopat, bukan saja tidak menyembuhkan, melainkan justru menambah parah gejalanya, karena Psikopat ybs. bisa makin canggih dalam memanipulasi perilakunya yang merugikan orang lain, Walaupun demikian, Hare menegaskan bahwa kenyataan bahwa Psikopat belum bisa disembuhkan, tidak berarti bahwa Psikopat tidak perlu dirawat sama sekali. Keadaan ini justru harus memacu para pakar, karena merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Beberapa hal, kata Hare akan membaik sendiri dengan bertambahnya usia, misalnya energi yang tidak sebesar waktu muda lagi. Proses ini seharusnya bisa dipercepat dengan prosedur tertentu (Ramsland, tanpa tahun).

Di sisi lain, Kirkman (2002) yang percaya bahwa kerpibadian Psikopat terbentuk karena salah asuh pada masa kecil, berpendapat bahwa Psikopat bisa dicegah jika indikasi kelainan kepribadian itu bisa dideteksi sedini mungkin dan diberi asuhan sedemikian rupa sehingga meminimalkan risiko individu dari kekurangan afeksi pada masa kecilnya yang akan menyebabkan berkembangnya perilaku yang merugikan dari seorang Psikopat.
Dampak dari ketidak tahuan ilmuwan tentang penyembuhan Psikopat, adalah timbulnya reaksi dalam masyarakat untuk melindungi diri dari serangan Psikopat melalui Undang-undang. Tetapi seperti halnya dalam hal perumusan ruang lingkup dan topik penelitian, Undang-undang anti Psikopat juga lebih dipengaruhi oleh pandangan awam, ketimbang penelitian ilmiah.

Di Belanda, misalnya, UU anti Psikopat diluncurkan dua kali, yaitu pada awal abad XX dan di tahun 2002. Tujuannya tidak berubah dalam kurun waktu yang sekitar 100 tahun itu, yaitu untuk mencegah “disturbed criminals” untuk mengganggu masyarakat, dengan cara menangkap mereka dan mendidik mereka di dalam penjara agar bisa berperilaku yang lebih sesuai dengan norma masyarakat. Tetapi akibatnya adalah polisi dengan gampang menangkap dan memenjarakan setiap pemabok di jalanan dengan dakwaan Psikopat (Oei, 2005).

Demikian pula di AS. Hukum anti Psikopat di AS dimulai tahun 1930an dengan UU di negara-negara bagian Midwestern yang ditujukan kepada Sex offenders, berupa UU anti Psikopat seksual. Pada tahun 1990an dikeluarkan UU anti Sexually deviant behavior, yang arahnya adalah pencegahan Psikopat seksual, melalui program-program pencekalan. Namun masyarakat ingin tetap mempertahankan UU tahun 1930an tentang anti Sex offenders, karena sifatnya yang lebih coercive dan dirasakan bisa lebih melindungi masyarakat. Akhirnya terbitlah UU anti Sex offender itu (Sexually Violent Predator Acts (SVP). Ternyata jurisprudensi selama puluhan tahun tidak diperhatikan, yang berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan medis hampir-hampr tidak diperhatikan dalam pembuatan UU baru (Granlund, 2005; Quinn, Forsyth & Mullen-Quinn, 2004).

Kecenderungan untuk lebih memperhatikan pendapat awam ketimbang pertimbangan pakar juga terbukti dalam sebuah survey yang dilakukan terhadap 172 mahasiswa Strata 1. Kepada mereka ditanyakan, seandainya mereka harus memberi hukuman terhadap tersangka SVP dengan predikat Psikopat atau yang non-Psikopat, yang manakah yang akan mereka beri hukuman yang lebih berat? Yang Psikopat atau non-Psikopat? Dan siapakah yang akan mereka jadikan acuan? Tuntutan jaksa atau kesaksian dokter ahli (clinician)? Jawab responden adalah hukuman lebih berat pada yang Psikopat, berdasarkan tuntutan jaksa, bukan kesaksian dokter ahli (Guy & Edens, 2003).

No comments:

Post a Comment